Anakmu Bukanlah Anakmu
(Khahlil Gibran)
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu akan dirinya sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.
Patut kauberikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kaukunjungi sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan buat mereka menyerupaimu, sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur.
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat jauh dengan cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemurah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat.
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Kutipan puisi dari pengarang kenamaan Libanon itu muncul dalam sarasehan parent meeting Pelangi Indonesia, pada suatu masa di tahun 2015 :) . Tema yang dipilih pada saat itu adalah "Komunikasi Efektif untuk Parenting Sukses", dan oleh Bu Yeyentimalla, S.Kep., Ns., M.Si., narasumber kita, disederhanakan supaya lebih mengena dengan judul "Ngobrol dengan Anak."
Bu Yeyen masih aktif sebagai dosen di sebuah universitas di Palangkaraya (meski kala itu sedang cuti karena sedang menempuh pendidikan doktoral bidang Psikologi di UGM), selanjutnya memaparkan bahwa berkomunikasi atau ngobrol dengan anak kita, sejatinya adalah untuk menjalin dan memelihara keterhubungan dengan anak tersebut. Karena itu, mengobrol dengan anak tidak harus mengangkat topik yang "penting" (menasihati, meminta atau melarang anak melakukan sesuatu misalnya - penulis). Kita boleh saja dan mungkin justru dianjurkan untuk lebih sering mengobrol dengan anak tentang hal-hal yang sederhana dan "tidak penting". Menanyakan kabar, memuji, bercanda, bermain bersama, dan semacamnya.
Masalah yang sering terjadi saat berkomunikasi dengan anak adalah bahwa orang tua sering menatap masalah anak dengan kacamatanya, sehingga kerap kali terjadi konflik. Seharusnya kita menerapkan komunikasi Merangkul (REACH - Respect, Empathy, Audible, Clarity, Humble). Dalam komunikasi "Merangkul" tersebut, kedua belah pihak saling menghargai, berempati (menempatkan diri pada situasi/kondisi yang dihadapi orang lain), berkomunikasi dengan cara yang dapat dimengerti dengan baik, saling mengungkapkan pesan dengan jelas, dan bersikap rendah hati).
Ada beberapa aspek komunikasi yang dipaparkan dalam acara tersebut, antara lain:
kesadaran diri
klarifikasi nilai
eksplorasi perasaan
model peran
altruisme
etik dan tanggung jawab
Kesadaran diri kita digambarkan dalam Jendela Johari, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Di mana seharusnya kita berada? Yang paling dianjurkan adalah pada jendela pertama (Publik), di mana orang lain mengetahui kita dan kita juga mengetahui orang lain.
Kemudian klarifikasi nilai. Beberapa orang tua mengganggap anak adalah aset masa depan. Yang lain menganggap bahwa anak bertugas memenuhi harapan/impian orang tua yang belum terwujud. Yang lain lagi menugaskan anak untuk memenuhi harapan ideal orang tua. Apakah anak untuk memenuhi semua hal-hal itu? Puisi Khahlil Gibran yang dikutip di awal tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi yang baik.
Mengenai eksplorasi perasaan, dalam berkomunikasi seharusnya kita mengeksplorasi perasaan kita sendiri, perasaan anak, dan menggunakan perasaan dengan akurat untuk menjalankan fungsi keterhubungan.
Kemudian model peran apa yang kita ambil dalam berkomunikasi dengan anak? Apakah sebagai orang tua (ayah/ibu), yang menghasilkan gaya komunikasi paternalistik, atau sebagai sahabat, yang menghasilkan gaya komunikasi partisipatori. Pilihan ada pada diri kita masing-masing.
Sarasehan ini menjadi menarik dan mengena karena Bu Yeyen tidak sekedar memaparkan teori demi teori, tetapi juga membagikan pengalamannya dalam berkomunikasi dengan anak-anak, yaitu keponakan-keponakannya.
Comments